Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘mount kelud indonesia’

Bagian 1

Gunung Kelud itu unik eh enak. Kita nggak perlu ribet-ribet mendaki dari lereng gunung. Cukup naik mobil atau motor kita sudah bisa sampai di leher gunung. Mirip-mirip gunung telomoyo di jawa tengah. Setelah itu kita tinggal jalan kaki sedikit untuk sampai ke kawah gunung kelud. Di kawah kelud tadinya terdapat sebuah danau, tapi sejak erupsi 2007 berubah menjadi kubah lava yang disebut anak gunung kelud.

Hari ahad dua minggu lalu, saya kehujanan di puncak gajah mungkur gunung kelud. Mantel hujan yang saya pakai sampai tembus, tak kuat menahan derasnya air hujan.

Turun dari gardu pandang di puncak gajah mungkur, saya melanjutkan perjalanan ke mata air panas gunung kelud. Kalau ke gardu pandang kita harus naik sekitar 600 anak tangga, maka untuk ke mata air panas kebalikannya kita harus turun beratus-ratus anak tangga. Fuih, kaki benar-benar aset penting jalan-jalan ke Kelud. Untungnya, tangga naik turun di kawasan wisata gunung kelud kondisinya sudah baik. Berupa tangga batu yang tersusun rapi dan sudah ada pegangan besinya. Wajar kalau gunung kelud meraih penghargaan sebagai objek wisata alam terbaik dalam Anugerah Wisata Nusantara 2011 oktober lalu.

15 menit menuruni tangga sampailah saya di mata air panas gunung kelud, yakni sebuah sungai dengan asap mengepul-ngepul, pertanda kalau airnya panas. Batuan sungainya berwarna coklat tanda mengandung belerang.

Ada kebohongan publik terjadi di sini. Plang informasi yang dipasang sebelum tangga turun ke mata air panas bunyinya “Spa Air Belerang”. Tapi setelah saya sampai di bawah, mana spa-nya? Nggak ada bangunan apa pun di sini selain sungai.

Tanpa membuang waktu saya langsung mencari lokasi strategis buat merendam kaki. Alhamdulillah nemu batu yang cocok buat duduk. Begitu merendamkan kaki, rasanya subhanallah banget, semacam cesss… secara tadi habis kehujanan.

Lagi enak-enaknya merendam kaki, datang segerombolan mas-mas dan mengajak saya ngobrol. Mereka excited pas saya bilang saya dari batam. Mungkin kesannya saya dari jauuuh kali ya, secara mereka dari sekitaran kediri situ juga. Setelah itu mereka ngobrol panjang lebar tanpa bisa saya pahami lantaran bahasa jawanya kelewat cepat.

Setelah 30 menit saya menyudahi ritual berendam kaki. Kembali ke atas menaiki ratusan anak tangga lagi. Fiuh. Sampai di atas saya foto-foto sebentar, trus langsung tancap gas pulang.

Oya, di salah satu ruas jalan di sekitaran pinggang gunung kelud ada yang disebut misterious road. Yaitu seruas jalan yang katanya memiliki medan magnet. Jadi meski jalannya menanjak, konon kendaraan yang berhenti di tengah jalan tersebut akan tetap meluncur naik. Wew, saya pun mencoba. Motor saya matikan, kaki nggak saya pake nahan, dan ternyata.. motor berjalan mundur.ย (ห‡_ห‡) Medan magnetnya nggak bekerja euy. Atau mungkin cuma berlaku buat mobil kali ya?

Perjalanan pulang dilanjutkan melewati beberapa kecamatan di kabupaten kediri; ngancar, wates, plosoklaten. Pas di plosoklaten saya melewati sebuah desa bernama desa jengkol. Bukan cuma nama desanya yang unik, makanan khasnya juga nyentrik. Mau tau apaan..?

Yakin mau tau..?

Makanan khasnya adalah *taraa* sate bekicot! Di sepanjang jalan raya desa jengkol ini berdiri banyak warung makan dengan menu andalannya sate bekicot. Saya pun membeli bungkus 50 tusuk seharga Rp.15000, dan ternyata rasanya… enak! Susah mendeskripsikan rasanya, yang jelas enak.

Selain sate, tersedia juga kripik bekicot. Tapi saya nggak beli karena menurut saya harganya agak *psst* mahal.

Setelah membeli sate bekicot, saya lanjut pulang ke rumah saudara saya di Plemahan kediri. Sampai rumah langsung mandi, makan, trus melemaskan otot-otot kaki yang tadi diforsir naik turun ribuan anak tangga di kelud. Asal tahu aja, pegal-pegal di kaki ini baru hilang lebih dari seminggu kemudian.

Selamat berwisata ke kelud! ๐Ÿ™‚

Read Full Post »

Bukan ide cemerlang jalan-jalan ke Kelud pada musim hujan. Kalau tetap nekad, nasib anda bakal seperti saya; basah kuyup di puncak kelud.

Jadi ceritanya menjelang siang di suatu hari minggu sampailah saya di pos masuk kawasan wisata gunung kelud. Setelah membayar retribusi Rp.6000,- saya dipersilahkan dengan sopan oleh mas-mas pengawal pos untuk melanjutkan perjalanan menuju gunung kelud. Dari pos masuk menuju pemberhentian terakhir jaraknya 10 km.

Setelah melewati jalanan terjal dengan tebing rawan longsor di sana sini, sampailah saya di pelataran parkir gunung kelud. Parkirannya luas, muat ribuan kendaraan. Parkiran ini terletak di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut. Dari sini kita bisa melihat pemandangan kabupaten blitar dan kediri nun jauh di bawah sana. Pemandangan seperti inilah yang selalu saya idam-idamkan dan tak bisa saya dapatkan di batam. (ยดโ–ฝ`สƒฦช)

Setelah memarkir motor saya lanjut berjalan kaki menuju kawah gunung kelud. Untuk menuju kawah kita akan melewati sebuah terowongan sepanjang 110 meter. Konon terowongan tersebut dibangun pada zaman jepang dan dimaksudkan sebagai jalan pembuangan lahar gunung kelud.

Keluar dari terowongan, maka sampailah kita di areal kawah gunung kelud. Di depan terpampang anak gunung kelud dengan batuannya yang berwarna hitam. Anak gunung kelud tersebut baru terbentuk pada erupsi gunung kelud tahun 2007. Sebelum ada anak gunung kelud, di lokasi yang sama terdapat sebuah danau kawah. Arul, teman saya, mengaku pernah berenang di danau kawah tersebut. Katanya airnya hangat dan beraroma belerang. Sekarang danau kawah tersebut tinggal kenangan (lihat video danau kawah kelud di sini).

Persis di belakang anak gunug kelud, tampak menjulang puncak kelud setinggi 1731 meter. Puncak kelud ini seolah memeluk anak gunung kelud dalam dekapannya. Ibu dan anak yang akur.. *apa sih*

Di sebelah kanan anak gunung kelud, tampak tegak menjulang puncak sumbing. Bentuk puncak sumbing ini unik, berputar setengah lingkaran dengan tebing-tebing tingginya yang terjal. Keren banget buat background foto.

Sementara di sebelah kiri adalah puncak gajah mungkur. Di atasnya terdapat sebuah gardu pandang. Puncak gajah mungkur inilah yang paling gampang didaki karena sudah tersedia tangga naik. Tanpa pikir panjang saya pun langsung naik menuju gardu pandang gajah mungkur. Jaraknya lumayan, 600 anak tangga.

Ya, 600 anak tangga… Lumayan cape ternyata. Awalnya saya berhenti istirahat tiap 50 anak tangga. Tapi makin ke atas, saya makin sering berhenti. Ujung-ujungnya istirahat tiap 20 anak tangga. ๐Ÿ˜€ Beruntung panorama dari tangga naik ini indah, jadi sambil berhenti kita bisa menikmati pemandangan kawah gunung kelud.

Di tengah perjalanan naik, hujan mulai turun. Para pengunjung dari atas mulai berbondong-bondong turun. Mungkin karena takut kehujanan. Tapi saya tetap naik dong, kan bawa mantel hujan.. (ห˜โŒฃห˜)

Alhamdulillah, tak sampai setengah jam saya tiba di puncak. Bersamaan dengan itu hujan pun turun dengan derasnya. Untung gardu pandangnya beratap, jadi saya ada tempat berteduh. Tadinya saya pikir saya bakal jadi satu-satunya orang di puncak, tapi ternyata masih ada sepasang muda-mudi. Mereka menyapa basa-basi, saya tersenyum baso sapi. Sambil menunggu hujan reda, mereka pacaran. Sementara saya mati gaya; mau foto-foto, hujan. Mau twitteran, nggak ada sinyal. (ห‡_ห‡)

Ketika hujan sedikit mereda, sepasang muda-mudi tadi turun. Tinggallah saya seorang diri di gardu pandang gajah mungkur, berharap hujan benar-benar berhenti kemudian awan tersibak, langit bersih, dan saya pun bisa menikmati pemandangan spektakuler dari puncak gajah mungkur ini.

Namun harapan tinggallah harapan. Bukannya mereda, hujan justru makin lebat. Sekarang malah ditambah angin, menderu-deru, bertiup kian kemari. Atap gardu jadi tak ada gunanya lagi karena air bukan cuma datang dari atas tapi juga datang dari segala arah terbawa angin. Saya yang memakai jaket dan mantel hujan lengkap perlahan tapi pasti mulai kedinginan…

15 menit berlalu…

30 menit berlalu…

45 menit berlalu, dan hujan masih deras….

Hampir sejam hujan nggak berhenti-berhenti, saya memutuskan turun. Dinginnya itu lho nggak nahan, diterpa angin terus-menerus. Perjalanan turun pun dimulai melalui tangga yang sama. Tapi ternyata, ada kesulitan besar menghadang di perjalanan turun..

Jadi karena hujan, tangga naik tadi rupanya berubah menjadi semacam air terjun. Debit airnya nggak main-main, mengalir deras dari atas ke bawah mengikuti alur tangga. Maka saya pun menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati. Saya tak mau ambil resiko. Langkah kurang kokoh dikit aja, alamat terseret air, terpeleset, trus jatuh berguling-guling ke bawah. Trus besoknya masuk koran kriminal “wisatawan asal batam tewas kepeleset di gunung kelud” (ห‡_ห‡)

E tapi pas perjalanan turun, saya melihat sebuah pemandangan spektakuler lho! Jadi berkat hujan lebat, dinding kawah di sebelah kiri saya rupanya berubah menjadi ratusan air terjun besar dan kecil. Luarrr biasa indahnya!! Dengan susah payah saya coba mengambil foto. Sayang hasilnya jelek karena motonya sambil ribet melindungi camdig dari hujan.

Selesai moto saya lanjut turun. Agak bergegas karena mantel hujan saya sudah mulai tembus air hujan. Ketika akhirnya sampai di bawah, baju saya sudah benar-benar basah kuyup. Mantel hujannya ternyata nggak kuat nahan hujan lama-lama. Dan bersamaan dengan saya sampai di bawah, hujan pun perlahan berhenti… (ห‡_ห‡)

Bersambung ke bagian 2 minggu depan ๐Ÿ˜€

Read Full Post »