Bukan ide cemerlang jalan-jalan ke Kelud pada musim hujan. Kalau tetap nekad, nasib anda bakal seperti saya; basah kuyup di puncak kelud.
Jadi ceritanya menjelang siang di suatu hari minggu sampailah saya di pos masuk kawasan wisata gunung kelud. Setelah membayar retribusi Rp.6000,- saya dipersilahkan dengan sopan oleh mas-mas pengawal pos untuk melanjutkan perjalanan menuju gunung kelud. Dari pos masuk menuju pemberhentian terakhir jaraknya 10 km.
Setelah melewati jalanan terjal dengan tebing rawan longsor di sana sini, sampailah saya di pelataran parkir gunung kelud. Parkirannya luas, muat ribuan kendaraan. Parkiran ini terletak di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut. Dari sini kita bisa melihat pemandangan kabupaten blitar dan kediri nun jauh di bawah sana. Pemandangan seperti inilah yang selalu saya idam-idamkan dan tak bisa saya dapatkan di batam. (´▽`ʃƪ)
Setelah memarkir motor saya lanjut berjalan kaki menuju kawah gunung kelud. Untuk menuju kawah kita akan melewati sebuah terowongan sepanjang 110 meter. Konon terowongan tersebut dibangun pada zaman jepang dan dimaksudkan sebagai jalan pembuangan lahar gunung kelud.
Keluar dari terowongan, maka sampailah kita di areal kawah gunung kelud. Di depan terpampang anak gunung kelud dengan batuannya yang berwarna hitam. Anak gunung kelud tersebut baru terbentuk pada erupsi gunung kelud tahun 2007. Sebelum ada anak gunung kelud, di lokasi yang sama terdapat sebuah danau kawah. Arul, teman saya, mengaku pernah berenang di danau kawah tersebut. Katanya airnya hangat dan beraroma belerang. Sekarang danau kawah tersebut tinggal kenangan (lihat video danau kawah kelud di sini).
Persis di belakang anak gunug kelud, tampak menjulang puncak kelud setinggi 1731 meter. Puncak kelud ini seolah memeluk anak gunung kelud dalam dekapannya. Ibu dan anak yang akur.. *apa sih*
Di sebelah kanan anak gunung kelud, tampak tegak menjulang puncak sumbing. Bentuk puncak sumbing ini unik, berputar setengah lingkaran dengan tebing-tebing tingginya yang terjal. Keren banget buat background foto.
Sementara di sebelah kiri adalah puncak gajah mungkur. Di atasnya terdapat sebuah gardu pandang. Puncak gajah mungkur inilah yang paling gampang didaki karena sudah tersedia tangga naik. Tanpa pikir panjang saya pun langsung naik menuju gardu pandang gajah mungkur. Jaraknya lumayan, 600 anak tangga.
Ya, 600 anak tangga… Lumayan cape ternyata. Awalnya saya berhenti istirahat tiap 50 anak tangga. Tapi makin ke atas, saya makin sering berhenti. Ujung-ujungnya istirahat tiap 20 anak tangga. 😀 Beruntung panorama dari tangga naik ini indah, jadi sambil berhenti kita bisa menikmati pemandangan kawah gunung kelud.
Di tengah perjalanan naik, hujan mulai turun. Para pengunjung dari atas mulai berbondong-bondong turun. Mungkin karena takut kehujanan. Tapi saya tetap naik dong, kan bawa mantel hujan.. (˘⌣˘)
Alhamdulillah, tak sampai setengah jam saya tiba di puncak. Bersamaan dengan itu hujan pun turun dengan derasnya. Untung gardu pandangnya beratap, jadi saya ada tempat berteduh. Tadinya saya pikir saya bakal jadi satu-satunya orang di puncak, tapi ternyata masih ada sepasang muda-mudi. Mereka menyapa basa-basi, saya tersenyum baso sapi. Sambil menunggu hujan reda, mereka pacaran. Sementara saya mati gaya; mau foto-foto, hujan. Mau twitteran, nggak ada sinyal. (ˇ_ˇ)
Ketika hujan sedikit mereda, sepasang muda-mudi tadi turun. Tinggallah saya seorang diri di gardu pandang gajah mungkur, berharap hujan benar-benar berhenti kemudian awan tersibak, langit bersih, dan saya pun bisa menikmati pemandangan spektakuler dari puncak gajah mungkur ini.
Namun harapan tinggallah harapan. Bukannya mereda, hujan justru makin lebat. Sekarang malah ditambah angin, menderu-deru, bertiup kian kemari. Atap gardu jadi tak ada gunanya lagi karena air bukan cuma datang dari atas tapi juga datang dari segala arah terbawa angin. Saya yang memakai jaket dan mantel hujan lengkap perlahan tapi pasti mulai kedinginan…
15 menit berlalu…
30 menit berlalu…
45 menit berlalu, dan hujan masih deras….
Hampir sejam hujan nggak berhenti-berhenti, saya memutuskan turun. Dinginnya itu lho nggak nahan, diterpa angin terus-menerus. Perjalanan turun pun dimulai melalui tangga yang sama. Tapi ternyata, ada kesulitan besar menghadang di perjalanan turun..
Jadi karena hujan, tangga naik tadi rupanya berubah menjadi semacam air terjun. Debit airnya nggak main-main, mengalir deras dari atas ke bawah mengikuti alur tangga. Maka saya pun menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati. Saya tak mau ambil resiko. Langkah kurang kokoh dikit aja, alamat terseret air, terpeleset, trus jatuh berguling-guling ke bawah. Trus besoknya masuk koran kriminal “wisatawan asal batam tewas kepeleset di gunung kelud” (ˇ_ˇ)
E tapi pas perjalanan turun, saya melihat sebuah pemandangan spektakuler lho! Jadi berkat hujan lebat, dinding kawah di sebelah kiri saya rupanya berubah menjadi ratusan air terjun besar dan kecil. Luarrr biasa indahnya!! Dengan susah payah saya coba mengambil foto. Sayang hasilnya jelek karena motonya sambil ribet melindungi camdig dari hujan.
Selesai moto saya lanjut turun. Agak bergegas karena mantel hujan saya sudah mulai tembus air hujan. Ketika akhirnya sampai di bawah, baju saya sudah benar-benar basah kuyup. Mantel hujannya ternyata nggak kuat nahan hujan lama-lama. Dan bersamaan dengan saya sampai di bawah, hujan pun perlahan berhenti… (ˇ_ˇ)
Bersambung ke bagian 2 minggu depan 😀
disaat gunung kelud ini meletus, kampung sukses panen abu :d
masa nyampe madiun mas? jauh itu kan?
nyampai kok, tapi abunya saja loh. masih inget saat itu sudah sore, dan saat itu lagi ada orang meninggal, dikiranya mau hujan soalnya mendung gelap banget, gak taunya selang beberapa lama debu berterbangan
Klo ke gunung kelud gak pas klo gak liat anak gunung dari bawah, trus naik kepuncak, turun ke air panas. di jamin kaki bisa lemes 🙂
hahaha.. betul sekali mas. ya itu dia yang saya lakukan di sana.. dan sampe sekarang sisa-sisa pegel di kaki masih berasa 😀
kayak nama kapal yg rutenya batam-medan(belawan) ya
salam pelaut batam